Seminggu kemudian, Minggu (5/8/2018), gempa kedua mengguncang dengan kekuatan lebih besar: 7 skala Richter. Di antara kedua gempa besar itu, BMKG mencatat setidaknya ada 147 kali gempa susulan yang terjadi. Penyebabnya pun sama belaka, aktivitas Sesar Flores.
Baca juga: Sesar Naik Flores yang Mengguncang Lombok
Kedua gempa yang terjadi dalam sepekan ini semestinya menjadi pengingat bahwa Lombok, juga pulau-pulau lain di sepanjang bujur Kepulauan Nusa Tenggara berada dalam zona tektonik yang aktif.
Ahmad Arif dalam Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013: 36) menyebut bahwa Indonesia merupakan zona tumbukan tiga lempeng besar dunia: Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik. Lempeng Pasifik memanjang dari tepian utara Pulau Papua hingga ke Sulawesi. Sedangkan Lempeng Hindia-Australia dan Eurasia saling bertumbukan ke arah utara. Pulau Lombok, juga Nusa Tenggara secara keseluruhan, berada di zona tumbukan kedua lempeng besar ini.
“Zona tumbukan dua lempeng ini berada di sepanjang palung laut Sumatra, Jawa, Bali, hingga Lombok. Lempeng [benua] Australia kemudian menabrak busur kepulauan di sepanjang tepi kontinen dari tepian selatan Timor Timur terus ke timur dan melingkar berlawanan arah jarum jam di Lautan Banda,” tulis Ahmad Arif.
Baca juga:
Sumber lebih tua dari naturalis Alfred Russel Wallace juga menyebut informasi yang kurang lebih serupa. Dalam Kepulauan Nusantara (2009: 4-5), Wallace menyebut bahwa deretan pulau dari Sumatera hingga Nusa Tenggara adalah zona vulkanis yang aktif dan senantiasa “membentuk” diri.
“Daerah-daerah yang dilewati gunung deretan gunung api dan yang berada di sekitarnya sering dilanda gempa. Gempa ringan terjadi dalam selang waktu beberapa minggu atau bulan, sedangkan yang lebih keras terjadi tiap tahun,” tulis naturalis Inggris itu.
Selain dibentuk oleh aktivitas tektonik, kawasan Nusa Tenggara juga merupakan bagian dari deretan gunung api teraktif di dunia. Dua gunung api aktif yang berada di kawasan ini adalah Gunung Rinjani dan Gunung Tambora. Aktivitas alam itu memberikan berkah kesuburan dan kehidupan bagi penduduk yang mendiaminya.
Namun, hidup di zona ini juga mesti selalu siap berhadapan dengan bencana. Karena kedua gunung api itu punya catatan letusan kolosal di masa lalu yang mampu mengubur peradaban dan membuat iklim dunia berubah.
Letusan Samalas
Pada 10 April 1815, Tambora meledak, menyemburkan material vulkanik setinggi 43 kilometer. Awan panasnya menyebar hingga radius 820 kilometer dan menimbulkan hujan abu hingga radius 1.300 kilometer.
“Letusan Tambora memang dahsyat. Magnitudo letusannya, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8 skala. Aliran awan panas itulah yang menghancurkan Semenanjung Sanggar, memusnahkan Kerajaan Tambora dan Pekat, serta menyisakan Kerajaan Sanggar yang sekarat,” tulis Ahmad Arif (hlm. 51).
Dambak global letusan Tambora terasa hingga setahun setelahnya di Eropa. Orang Eropa mengenal tahun 1816 sebagai “tahun tanpa musim panas”. Gagal panen terjadi di mana-mana dan epidemi tifus merajalela dari Eropa hingga Mediterania (hlm. 52).
Orang barangkali paling mengenal letusan Tambora itu sebagai yang terbesar dan paling mematikan. Namun, fakta itu terkoreksi pada 2013 lalu kala Franck Lavigne dari Universite Paris Pantheon-Sorbonne bersama 14 peneliti gunung api lain menerbitkan makalah berjudul